BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu menempati posisi penting dalam kehidupan manusia. Hampir semua
aktifitas manusia dikendalikan oleh ilmu. Perkembangan ilmu sangatlah pesat
mengimbangi kebutuhan manusia dari yang bersifat material, teknis, kemanusiaan,
kemasyarakatan, sampai yang benar-benar spiritual dan religious. Berdasar
keragaman dan dinamika kebutuhan manusia ini, berkembanglah ilmu- ilmu seperti
ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu social-humaniora, dan ilmu-ilmu agama.
Ilmu-ilmu alam meliputi, ilmu fisika, biologi, kimia, matematika,
geografi, geologi, dan lain sebagainya. Disiplin ilmu-ilmu tersebut ada untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan material, fisik, dan mekanisme teknis dari manusia
terhadap alam ini. Ilmu-ilmu sosial-humaniora seperti antropologi, sejarah,
sosiologi, filsafat dan psikologi lahir untuk memenuhi kebutuhan manusia yang
bersifat non material, dan lebih condong kepada nilai-nilai kemasyarakatan, dan
hubungan-hubungan social, karena menyangkut makna hidup, hubungan antar sesame
manusia yang memiliki hak untuk tetap hidup. Sementara ilmu-ilmu agama
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan moral, dan spiritual-religius manusia.
Terkait dengan sifat obyeknya, ketiga disiplin ilmu tersebut
memiliki kekhasan epistemology masing-masing. Kekhasan ilmu-ilmu tersebut
tergambar dalam cara kerjanya yang berbeda-beda. Cara kerja ilmu-ilmu Alam
jelas berbeda dengan ilmu-ilmu social-humaniora dan ilmu-ilmu agama, begitupun
sebaliknya. Namun, ada kalanya ketiganya dalam tingkatan tertentu memiliki
titik-titik singgung. Dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana cara kerja
ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu soail-humaniora, dan ilmu-ilmu agama.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
Ilmu Pengetahuan itu?
2.
Bagaimana
cara kerja ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu soal-humaniora, dan ilmu-ilmu agama?
C.
Tujuan
¨ Mengetahui pengertian Ilmu Pengetahuan
¨ Memahami dan membandingkan cara kerja ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu
social-humaniora, dan ilmu-ilmu agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN ILMU PENGETAHUAN
Menurut John
Ziman, Ilmu Pengetahuan merupakan suatu hasil ciptaan sadar manusia, dengan
sumber-sumber historis yang didokumentasikan secara baik, dengan lingkup dan
kandungan yang dapat ditentukan secara pasti dan dengan orang-orang
professional terpercaya yang mempraktekkan serta menguraikannya.
Ilmu pengetahuan bersifat tepat, metodis, akademis, logis, dan
praktis. Kemudahan yang diberikan ilmu pengetahuan berupa pemahaman yang jelas
dan melihat segala sesuatu secara jeli, membuat kita merasa bahwa alat itu
sendirinsangat nyata, sukar, dan pasti[1].
Sedangkan
menurut James B. Conant, Ilmu Pengetahuan adalah rangkaian konsep dan keragka
konseptual yang saling berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan
dan pengamatan dan bermanfaat untuk percobaan dan pengamatan lebih lanjut[2].
Dari kedua
pengertian diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, Ilmu Pengetahuan adalah
suatu hasil cipta sadar manusia yang didokumentasikan secara konseptual yang
saling berkaitan serta dapat bermanfaat untuk percobaan dan pengamatan lebih
lanjut.
Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum
sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara
sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu
tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha
berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan
adalah produk dari istemologepi.
B.
CARA KERJA ILMU PENGETAHUAN
1.
Cara Kerja Ilmu-ilmu Alam
Ilmu-ilmu alam
berkembang sebelum ilmu filsafat muncul. Sejak di Yunani Kuno, ilmu matematika,
fisika, kimia dan astronomi telah lama menjadi perbincangan dikalangan pecinta
ilmu, disebabkan karena dari segi kedekatan hubungan manusia dengan dunia yang
bersifat material dan fiscal yang secara langsung mudah diamati dan diukur.
Selain itu, manfaatnya yang bersifat praktis dan langsung bias dirasakan,
seperti penemuan sepeda oleh ilmu-ilmu alam, manfaatnya bias langsung dirasakan
oleh orang yang menggunakan. Manfaatnya masih bias dirasakan meskipun dilakukan
dalam waktu yang berbeda.
Dilihat dari obyeknya, cara kerja ilmu alam bias dirangkum dalam
prinsip-prinsip sebagai berikut :
a.
Gejala
Alam Bersifat Fisik-Statis
Dari sifatnya
yang fisikal, terukur, dan teramati, gejala-gejala alam memiliki sifat statis
atau tetap dari waktu ke waktu. Karena statis jumlah variable dari gejala alam
sebagai obyek yang diamati juga relative lebih sederhana dan sedikit. Misalnya,
ketika ahli ilmu alam ingin menjelaskan suatu eksplosi kimiawi, dia hanya perlu
mempelajari bahan-bahan kimia yang bias meledak dan mudah diamati. Jadi
faktornya sederhana untuk bias menjelaskan eksplosi kimiawi.
b.
Objek
Penelitian Bisa Berulang
Objek penelitian
dalam ilmu-ilmu alam tidak mengalami perubahan atau tetap. Oleh karenanya objek
penelitian dalam ilmu-ilmu alam bias diamati secara berulang-ulang oleh
peneliti. Orang jaman sekarang bias meneliti ulang proses gravitasi oleh Isaac
Newton, dengan gejala-gejala yang sama seperti diamati oleh Newton. Hal ini
terjadi demikian, karena sifat-sifat gejala alam adalah seragam dan bias
diamati kapanpun[3].
Ketika mengamati benda-benda yang jatuh menuju bumi, variable-veriable yag
dipakai dalam eksperiman untuk menguji penemua gravitasi adalah sama antara
jaman Newton dan jaman sekarang.
c.
Pengamatan
Relatif Lebih Mudah dan Simpel
Dikatakan lebih
mudah karena pengamatan dalam ilmu-ilmu alam bias dilakukan secara langsung dan
bisa diulang kapanpun. Untuk mengetahui melelehnya sebuah besi, ahli-ahli ilmu
alam pada jaman dulu mempelajari sifat-sifat besi yang leleh oleh panas, kemudian
mereka memanasi besi dengan suhu yang cukup panas sehingga besi itu bisa
meleleh. Para ahli ilmu-ilmu alam jaman sekarang yang memiliki keinginan
serupa, mereka bisa melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh para
ahli pada jaman terdahulu. Dengan cara demikian, ahli ilmu-ilmu alam bisa
mengubah bentuk besi yang semula persegi panjang menjadi segi tiga atau bulat.
Kata ‘mengamati’ dalam ilmu alam lebih luas dari sekedar interaksi
langsung dengan panca indera. Oleh karenanya, manusia menggunakan alat-alat
bantu seperti mikroskop, teleskop, alat perekam gelombang, dan lain sebagainya.
Jika seorang seseorang menyatakan bahwa ia menemukan gejala alam baru yang
belum terdaftar dalam perbendaharaan ilmu-ilmu alam maka ia perlu memberikan
informasi tentang lingkungan, peralatan serta cara pengamatan yang digunakan,
sehingga memungkinkan orang lain mengamati kembali jika ingin mengujinya. Meskipun
pengamatan dalam ilmu alam bersifat reproducible atau bisa
diulang-ulang, namun dimungkinkan juga hasil yang berbeda menurut cara
pengamatan yang dipakai, meskipun secara umum cenderung seragam atau objektif.
d.
Subjek
Pengamatan (Peneliti) Lebih sebagai Penonton
Prinsip
pengamatan dalam ilmu-ilmu alam adalah prinsip objektif, artinya kebenarannya
disimpulkan berdasarkan objek yang diamati. Dalam pandangan Henry Margenau,
prinsip objektif ini menempatkan posisi ilmuwan sebagai the cosmic spectator
daripada the cosmic spectable. Ilmuwan alam adalah penonton alam, dia
hanya mengamati alam, dan memperlihatkan hasil pengamatannya kepada orang lain,
dimana ia sedikitpun tidak melibatkan subjektivitasnya, tetapi sekedar
menunjukkan hasil tontonanya.
Kerena sisi dominan pengamatan dalam ilmu-ilmu alam adalah lebih
sebagai “penonton”, maka tujuan aktivitas pengamatan adalah hanya sekedar
menjelaskan objeknya menurut penyebabnya, yang dalam istilah Dilthey disebut
dengan istilah Erklaren. Dalam Erklaren ini, pengalaman dan teori bisa dipisah,
artinya ada sesuatu jarak atau distansi antara pengamat dan yang diamati.
e.
Memiliki
Daya prediktif yang Relatif Lebih Mudah Dikontrol
Ilmu-ilmu alam
tidak akan menarik apabila hanya sebatas mengumpulkan informasi tentang gejala-gejala
alam semata kemudian membangun teori, melainkan gejala-gejala alam yang sudah
diketahui dan dirumuskan dalam teori-teori itu bisa digunakan untuk
memprediksikan kejadian-kejadian yag dimungkinkan akan timbul dari
gejala-gejala tersebut. Misalnya,
manusia mempelajari lempengan-lempengan dalam bumi, termasuk gerak-gerak
dan karakternya serta sebab-sebab terjadinya gerakan itu. Dari situ kemudian
bisa diketahiu semacam keajekan bahwa setiap sekian ratus tahun akan terjadi
patahan-patahan dari lempengan-lempengan bumi tersebut, dan pengetahuan ini
bisa menjaddi ajuan prediksi, misalnya, jika terjadi didasar lautan maka bisa
menimbulkan gelombang laut yang sangat besar atau Tsunami.
2.
Cara Kerja Ilmu-ilmu Sosial-Humaniora
Objek kajian
ilmu-ilmu social-humaniora tidak sekedar sebatas fisik dan material –layaknya
ilmu-ilmu alam- tetapi lebih dibalik yag fisik dan material serta bersifat
lebih kompleks. Ilmu-ilmu social-humaniora mafaatnya tidak bisa langsung
dirasakan karena harus berproses dalam wacana yang panjang dan memerlukan
negosiasi, consensus dan kompromi. Seperti halnya ilmu-ilmu alam, manusia juga
membutuhkan ilmu-ilmu social-humaniora untuk memenuhi kebutuhan non
fisikan-material, melainkan lebih bersifat abstrak dan psikologis, seperti penemuan
prinsip keadilan membawa manusia untuk mengatur perilaku sosialnya atas dasar
prinsip tersebut, dan lain sebagainya.
Dilihat dari sifat objeknya, cara kerja ilmu-ilmu social-humaniora
bisa dirangkum dalam prinsip-prinsip sebagai berikut :
a.
Gejala
Sosial-Humaniora Bersifat Non Fisik, Hidup, dan Dinamis
Gejala-gejala
yang diamati dalam ilmu-ilmu social-humaniora bersifat hidup dan bergerak
secara dinamis. Objek studi dalam ilmu-ilmu social-humaniora adalah manusia
yang lebih spesifik lagi pada aspek sebelah dalam atau inner worldnya
dan bukan outer worldnya. Berbeda dengan ilmu kedokteran, ilmu
kedokteran membicarakan manusia dari aspek biologis dan fisikal, sedangkan
ilmu-ilmu social-humaniora lebih menekan pada sisi bagian “dalam” manusia atau
apa yag ada dibalik manusia secara fisik, pada innerside, mental life,
mind-affected world, dan geistege Welt.
b.
Objek
Penelitian Tidak Bisa Berulang
Gejala-gejala
social-humaniora memiliki keunikan-keunikan dan kemungkinan bergerak dan
berubahnya sangat besar, karena mereka tidak stagnan dan bersifat dinamis.
Kejadian social yang dulu pernah terjadi secara mirip mungkin akan terulang
kembali, tetapi secara keseluruhan tidak pernah bisa serupa. Misalnya, perilaku
kerusuhan social orang-orang di Surakarta dulu pernah diteliti, dan sekarang
ilmuawan mencoba meneliti ulang perilaku kerusuhan social mereka itu, maka data
yang diperoleh atau gejala-gejala social-humaniora yang bisa ditangkap berbeda
meskipun dari informan yag sama tidak mungkin sama, karena sikap, emosi, dan
pengetahuan informan berkembang dan bahkan mungkin berubah sama sekali dan
ditambah lagi perubahan-perubahan konteks sosil-budaya-politiknya.
Gejala-gejala
social-humaniora bersifat idiographic, cenderung tidak bisa ditelaah secara
berulang-ulang. Objek yang ditelaah atau gejala-gejala social-humaniora hanya
dilukiskan keunikannya saja. Ilmu-ilmu social-humaniora hanya memahami,
memaknai dan menafsirkan gejala-gejala social-humaniora yang kemungkinan akan
menghasilkan kesimpulan yang berbeda, bahkan bertentangan daripada menghasilkan
kesimpulan yang sama.
c.
Penganatan
Relatif Lebih Sulit dan Kompleks
Gejala-gejala
social-humaniora bersifat bergerak, bahkan berubah, oleh karenanya mengamatinya sudah tentu lebih sulit dan lebih kompleks dibandingkan
meneliti gejala-gejala ilmu alam. Karena obyek pengamatan dari gejala-gejala
social-humaniora adalah apa yang ada dibalik penampakan fisik dari manusia dan
bentuk-bentuk hubungan social mereka. Melihat seseorang tersenyum kepada orang
lain adalah hal yang sudah biasa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi
makna senyum itu dalam ilmu social-humaniora mengandung banyak makna, boleh
jadi ia senang pada orang yang dilihatnya, boleh jadi ia tersenyum tidak karena
suka, tetapi terpaksa karena ingin kelihatan sebagai orang yang baik dimata
orang-orang sekitarnya, dan boleh jadi ia tersenyum karena orang yang
dilihatnya lucu dan aneh. Van Dalen menambahkan bahwa ilmuwan alam berkaitan
dengan gejala fisik yang bersifat umum, dan pengamatannya hanya meliputi
variable dalam jumlah yang relative kecil dan karenanya mudah diukur secara
tepat dan pasti; sedangkan ilmu social-humaniora mempelajari manusia baik
selaku perorangan maupun selaku anggota dari suatu kelompok social menyebabkan
situasinya bertambah rumit, dan karenanya variable dalam penelaahan
social-humaniora relative lebih banyak dan kompleks serta kadang-kadang membingungkan[4].
Oleh Karena
itu, jelas bahwa pengamatan dalam ilmu-ilmu social-humaniora adalah jauh lebih
kompleks, subjek dan objek penelitian adalah makhluk yang sama-sama sadar yang
jelas tidak mudah menangkap dan ditangkap semudah menangkap realitas baru misalnya.
d.
Subjek
Pengamatan (Peneliti) juga sebagai Bagian Integral dari Objek yang Diamati
Dalam ilmu-ilmu
alam, subjek pengamat bisa mengambil jarak dan focus pada objektivitasnya yang
diamati, tetapi dalam ilmu-ilmu social-humaniora karena subjeknya yang
mengamati dan yang diamati adalah manusia yang memiliki motif dan tujuan dalam
setiap tingkah lakunya, maka subjek yang mengamati atau peneliti tidak mungkin
bisa mengambil jarak dari objek yang diamati dan menerapkan prinsip
subjektivistik. Manusa bisa mengamati benda-benda fisik seperti gerak angin
tanpa terlibat secara pribadi, tetapi manusia tidak mungkin mengamati manusia
lain tanpa melibatkan minatnya, nilai-nilai hidup, kegemaran, motifnya, dan
tujuan pengamatan manusia akan memengaruhi pertimbangan-pertimbangan dalam
mengajari gejala social-humaniora.
Pengamatan
dalam ilmu-ilmu social-humaniora menggunakan istilah “Verstehen” yang bermakna
bahwa pengalaman dan pemahaman teoritis tidak terpisahkan dan justru dipadukan.
Pengalaman dan struktur-struktur simbolis yang dihasilkan didalam dunia
kehidupan kehidupan social-humaniora tidak tmpak “dari luar”, tetapi harus
dilibati “dari dalam” diri social-humaniora.
e.
Memiliki
Daya Prediktif yang Relatif Lebih Sulit dan Tak Terkontrol
Dalam ilmu
social-humaniora, pola-pola perilaku social-humaniora yang sama, belum tentu
mengakibatkan kejadian yang sama. Meski demikian, bukan berarti ilmu-ilmu
social-humaniora sama sekali tidak dapat dipakai untuk meramalkan
kejadian-kejadian social lain sebagai akibatnya dalam waktu dan tempat yag
berkalainan, tetap bisa namun tedak mungkin semudah dan sepasti ilmu-ilmu alam.
3.
Cara Kerja Ilmu-ilmu Keagamaan dan Keislaman
Tidak jauh
berbeda dari disiplin ilmu-ilmu yang lain, dalam ajaran agamapun tersembunyi
banyak ilmu. Oleh karena itu, ilmu agama juga memiliki cirri ilmiah, dan
memiliki kekhasan disbandingkan dengan ilmu-ilmu alam dan social-humaniora,
meskipun dalam tingktan tertentu menunjukan suatu kesamaan.
Ciri tersebut tergambar pada cara kerja ilmu-ilmu keagamaan,
sebagai berikut :
a.
Gejala
Keagamaan sebagai Ekspresi Keimanan dan Pemahaman atas Teks Suci
Tidak jauh
berbeda dengan gejala social-humaniora, gejala keagamaan juga merupakan sesuatu
yang bergerak dan statis. Gejala ini sekaligus mengindikasi suatu dinamika
keimanan sebagai hasil dari pengalaman dan pemahaman atas teks-teks suci
keagamaan yang diyakininya. Hal yang tidak ada dalam gejala social-humaniora
adalah aspek ekspresi keimanan religious ini.
Objek kajian dalam ilmu social-humaniora manusia beragama, dan
lebih focus pada inner worldnya sebatas aspek keimanan teologisnya, seperti
paham ketuhanannya da implikasinya pada perilaku social-kemanusiaannya, dan
pemahaman keagamaan yang dibangun oleh manusia beragama.
b.
Objek
Penelitian Unik dan Tak bisa Diulang
Objek
penelitian unik karena menyangkut keyakinan keagamaan, yakni keyakina agama
dijadikan sumber pengamatan mengapa muncul perilaku social orang tertentu.
Objek penelitian ilmu-ilmu agama adalah menyangkut perilaku orang beragamanya
dan juga teks-teks suci keagamaan yang diyakini orang beragama.
Selain itu,
objek kajian ilmu keagamaa juga bersifat tak bisa diulang-ulang karena kejadian
keagamaan tercermin dalam perilaku keagamaan orang beragama atau masyarakat
beragama pada kurun waktu dan tempat tertentu tidak mungkin bisa direkonstruksi
orang sesudahnya persis kejadian pada awalnya.
c.
Pengamatan
Sulit dan Kompleks dengan Interpretasi Teks-teks Suci Keagamaan
Pengamatan
dalam ilmu keagamaan mirip dalam ilmu-ilmu social-humaniora, yakni sulit dan
kompleks karena melihat dan memaknai apa yang dibalik kegiatan dan perilaku
fisik dan empiris manusia beragama.
Pengamatan ilmu keagamaan juga harus “menyelam” dan
menginterpretasi item-item dalam teks-teks suci terkait dengan fenomena
kegiatan dan perilaku manusia beragama yang bisa ditangkap. Perilaku-perilaku
keagamaan ketika diamati jelas bermuatan multiinterpretasi baik terhadap
gejala-gejala yang ditangkap maupun dari segipenafsiran teks-teks sucinya.
d.
Subyek
Pengamatan (Peniliti) juga sebagai Bagian Integral dari Objek yang Diamati
Pengamat atau
peneliti dalam ilmu-ilmu keagamaan juga tidak bisa dilepaska dan merupakan
bagian integral objek yang diamati apalagi yang diamati adalah perilaku
sosal-humaniora manusia beragama atau aktivitas-aktivitas keagamaan. Seorang
pengamat pasti terlibat secara emosional dan rasional dan menyimpulkan makna
mereka.
e.
Memiliki
Daya Prediktif yang Relatif Lebih Sulit dan Tak Terkontrol
Seperti halnya
dalam ilmu social-humaniora, dalam ilmu-ilmu keagamaan pola-pola perilaku
keagamaan yang sama belum tentu menghasilkan kejadian-kejadian yang sama.
Selain itu, ilmu-ilmu keagamaan juga harus dipertimbangkan keragamaan pemahaman
orang beragama terhadap ajaran agama mereka, dan hal ini menambah daya
prediktif ilmu-ilmu agama semakin sulit dipastikan.
Ilmu-ilmu
keislaman mempunyai prinsip yang sama dengan ilmu-ilmu keagamaan pada umumnya.
Yang membedakan hanya teks-teks suci yang diyakini, yaitu Al-Qur’an dan Hadis
Nabi serta sumber penalaran rasional dan pengalaman empiris keislaman.
Prinsip kerja
ilmu keislaman mengikuti sebagaimana cara kerja ilmu-ilmu keagaman, yakni
mempertimbangkan gejala-gejala keislaman yang tercermin dalam karya-karya
keislaman dan perilaku dan aktivitas keagaman islam dari para penganutnya
dengan disertai penginterpretasian ayat-ayat Qur’an dan hadis-hadis Nabi,
karena karya-karya dan aktivitas tersebut selalu merupakan ekspresi keberagaman
Islam.
Selanjutnya
perlu membangun studi islam yang Interkonektif, yakni persoalan
bagaimana islam memahami dan memegangi realitas kehidupan ini dengan berbagai
ragam, apakah itu tentang manusia, alam ataukah tentang Tuhan yang dalam
hubungan ketiganya melahirkan berbagai realitas yang semakin beragam, politik,
social, budaya, pendidikan, hokum, hak asasi manusia, ekologi, spiritualitas,
dan lain sebagainya. Harus ada interkoneksi dan interkoneksi antar
disiplin-displin keilmuan Islam.
Interkoneksitas
dan Interkomunikasi dalam studi Islam harus terjadi tidak hanya sisi
internalnya, yakni ilmu-ilmu keislaman, seperti tafsir, fiqh, tasawuf, ilmu
kalam, filsafat islam, dan lain sebagainya, tetapi juga sisi eksternalnya,
yakni ilmu-ilmu Islam dengan Ilmu-ilmu social-humaniora dan ilmu alam.
Dalam keilmuan
Islam yang interkonektif dan interkomunikatif menolak suatu pandangan dunia hitam-putih
dan tidak ada wilayah “abu-abu”, menolak dikhotomi ilmu agama dan ilmu umum,
dan menolak perlombaan antar disiplin ilmu untuk memperlihatkan disiplin ilmu
apa lebih superior daripada disiplin-disiplin ilmu lain. Penolkan ini
menunjukan ada suatu dukungan kelebihan masing-masing disiplin ilmu dan
kesemuanya memiliki nilai konstribusi yang spesifik terhadap suatu realitias.
Pengembangan
studi Islam juga berpijak pada tiga hadharah, yakni hadharah al-nash,
hadharah falsafah dan hadharah al-‘ilm.
Pemakaian interpretative atas nash, al-Qur’an dan Hadis, tidak
meninggalkan aspek the wholeness of reality seperti banyak dikembangkan
filsafat, dan juga tidak mengabaikan perspektif-perspektif disiplin ilmu lain
yang dimungkinkan ada dan dapat dikembangkan. Dengan cara demikian, ilmu-ilmu
islam dikembangkan tidak dalam model single entity atau murni teks suci
tanpa konteks, tidak dalam model isolated entities atau unit-unit yang
tertutup, yakni normativitas teks suci jalan sendiri, falsafah jalan sendiri, dan
ilmu jalan sendiri tanpa “jendela” interkoneksi dan interkomunikasi, melainkan
dalam model interconnected entities ada saling hubungan antar ketiganya.
BAB
III
PENUTUPAN
Ilmu
Pengetahuan adalah suatu hasil cipta sadar manusia yang didokumentasikan secara
konseptual yang saling berkaitan serta dapat bermanfaat untuk percobaan dan
pengamatan lebih lanjut.
Adapun cara
kerja ilmu-alam meliputi gejala alam bersifat fisik-statis, objek penelitian
dapat berulang, pengamatan relative lebih mudah dan simple, subjek pengamat
(peneliti) lebih sebagai penonton dan memiliki daya prediktif yang relative
lebih mudah dan dikontrol. Sedangkan cara kerja ilmu-ilmu social-humaiora
antara lain, gejala social-humaniora bersifat non fisik, hidup, dan dinamis,
objek penelitian tidak bisa berulang, pengamatan relative lebih sulit dan
kompleks, subjek pengamat (peneliti) juga sebagai bagian integral dari subjek
yang diamati, dan memiliki daya prediktif yang relative lebih sulit dan tak
terkontrol. Tidak jauh berbeda dengan cara kerja ilmu-ilmu social-humaniora,
ilmu-ilmu keagamaan dan keislaman juga memiliki cara kerja sebagai berikut
gejala keagamaan sebagai ekspresi keimanan dan pemahaman atas teks suci, objek
penelitian unik dan tidak bisa diulang, pengamatan sulit dan kompleks dengan
interpretasi teks-teks keagamaan, subjek pengamat (peneliti) juga sebagai
bagian integral dari objek yang diamati, dan memiliki daya prediktif yag
relative lebih sulit dan tak terkontrol.
DAFTAR PUSTAKA
Ghazali, Bachri, dkk. Filsafat Ilmu. 2005. Yogyakarta :
Pokja Akademik.
Carvallo, Bosco, dkk. Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. 1995. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar