Rabu, 25 April 2012

Cara Kerja Ilmu Pengetahuan

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ilmu menempati posisi penting dalam kehidupan manusia. Hampir semua aktifitas manusia dikendalikan oleh ilmu. Perkembangan ilmu sangatlah pesat mengimbangi kebutuhan manusia dari yang bersifat material, teknis, kemanusiaan, kemasyarakatan, sampai yang benar-benar spiritual dan religious. Berdasar keragaman dan dinamika kebutuhan manusia ini, berkembanglah ilmu- ilmu seperti ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu social-humaniora, dan ilmu-ilmu agama.
Ilmu-ilmu alam meliputi, ilmu fisika, biologi, kimia, matematika, geografi, geologi, dan lain sebagainya. Disiplin ilmu-ilmu tersebut ada untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan material, fisik, dan mekanisme teknis dari manusia terhadap alam ini. Ilmu-ilmu sosial-humaniora seperti antropologi, sejarah, sosiologi, filsafat dan psikologi lahir untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat non material, dan lebih condong kepada nilai-nilai kemasyarakatan, dan hubungan-hubungan social, karena menyangkut makna hidup, hubungan antar sesame manusia yang memiliki hak untuk tetap hidup. Sementara ilmu-ilmu agama dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan moral, dan spiritual-religius manusia.
Terkait dengan sifat obyeknya, ketiga disiplin ilmu tersebut memiliki kekhasan epistemology masing-masing. Kekhasan ilmu-ilmu tersebut tergambar dalam cara kerjanya yang berbeda-beda. Cara kerja ilmu-ilmu Alam jelas berbeda dengan ilmu-ilmu social-humaniora dan ilmu-ilmu agama, begitupun sebaliknya. Namun, ada kalanya ketiganya dalam tingkatan tertentu memiliki titik-titik singgung. Dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana cara kerja ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu soail-humaniora, dan ilmu-ilmu agama.



B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah Ilmu Pengetahuan itu?
2.      Bagaimana cara kerja ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu soal-humaniora, dan ilmu-ilmu agama?


C.    Tujuan

¨  Mengetahui pengertian Ilmu Pengetahuan
¨  Memahami dan membandingkan cara kerja ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu social-humaniora, dan ilmu-ilmu agama.


BAB II
PEMBAHASAN


A.    PENGERTIAN ILMU PENGETAHUAN
Menurut John Ziman, Ilmu Pengetahuan merupakan suatu hasil ciptaan sadar manusia, dengan sumber-sumber historis yang didokumentasikan secara baik, dengan lingkup dan kandungan yang dapat ditentukan secara pasti dan dengan orang-orang professional terpercaya yang mempraktekkan serta menguraikannya.
Ilmu pengetahuan bersifat tepat, metodis, akademis, logis, dan praktis. Kemudahan yang diberikan ilmu pengetahuan berupa pemahaman yang jelas dan melihat segala sesuatu secara jeli, membuat kita merasa bahwa alat itu sendirinsangat nyata, sukar, dan pasti[1].
Sedangkan menurut James B. Conant, Ilmu Pengetahuan adalah rangkaian konsep dan keragka konseptual yang saling berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan dan bermanfaat untuk percobaan dan pengamatan lebih lanjut[2].
Dari kedua pengertian diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, Ilmu Pengetahuan adalah suatu hasil cipta sadar manusia yang didokumentasikan secara konseptual yang saling berkaitan serta dapat bermanfaat untuk percobaan dan pengamatan lebih lanjut.
Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode  yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari istemologepi.


B.     CARA KERJA ILMU PENGETAHUAN
1.      Cara Kerja Ilmu-ilmu Alam
Ilmu-ilmu alam berkembang sebelum ilmu filsafat muncul. Sejak di Yunani Kuno, ilmu matematika, fisika, kimia dan astronomi telah lama menjadi perbincangan dikalangan pecinta ilmu, disebabkan karena dari segi kedekatan hubungan manusia dengan dunia yang bersifat material dan fiscal yang secara langsung mudah diamati dan diukur. Selain itu, manfaatnya yang bersifat praktis dan langsung bias dirasakan, seperti penemuan sepeda oleh ilmu-ilmu alam, manfaatnya bias langsung dirasakan oleh orang yang menggunakan. Manfaatnya masih bias dirasakan meskipun dilakukan dalam waktu yang berbeda.
Dilihat dari obyeknya, cara kerja ilmu alam bias dirangkum dalam prinsip-prinsip sebagai berikut :
a.       Gejala Alam Bersifat Fisik-Statis
Dari sifatnya yang fisikal, terukur, dan teramati, gejala-gejala alam memiliki sifat statis atau tetap dari waktu ke waktu. Karena statis jumlah variable dari gejala alam sebagai obyek yang diamati juga relative lebih sederhana dan sedikit. Misalnya, ketika ahli ilmu alam ingin menjelaskan suatu eksplosi kimiawi, dia hanya perlu mempelajari bahan-bahan kimia yang bias meledak dan mudah diamati. Jadi faktornya sederhana untuk bias menjelaskan eksplosi kimiawi.

b.      Objek Penelitian Bisa Berulang
Objek penelitian dalam ilmu-ilmu alam tidak mengalami perubahan atau tetap. Oleh karenanya objek penelitian dalam ilmu-ilmu alam bias diamati secara berulang-ulang oleh peneliti. Orang jaman sekarang bias meneliti ulang proses gravitasi oleh Isaac Newton, dengan gejala-gejala yang sama seperti diamati oleh Newton. Hal ini terjadi demikian, karena sifat-sifat gejala alam adalah seragam dan bias diamati kapanpun[3]. Ketika mengamati benda-benda yang jatuh menuju bumi, variable-veriable yag dipakai dalam eksperiman untuk menguji penemua gravitasi adalah sama antara jaman Newton dan jaman sekarang.

c.       Pengamatan Relatif Lebih Mudah dan Simpel
Dikatakan lebih mudah karena pengamatan dalam ilmu-ilmu alam bias dilakukan secara langsung dan bisa diulang kapanpun. Untuk mengetahui melelehnya sebuah besi, ahli-ahli ilmu alam pada jaman dulu mempelajari sifat-sifat besi yang leleh oleh panas, kemudian mereka memanasi besi dengan suhu yang cukup panas sehingga besi itu bisa meleleh. Para ahli ilmu-ilmu alam jaman sekarang yang memiliki keinginan serupa, mereka bisa melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh para ahli pada jaman terdahulu. Dengan cara demikian, ahli ilmu-ilmu alam bisa mengubah bentuk besi yang semula persegi panjang menjadi segi tiga atau bulat.
Kata ‘mengamati’ dalam ilmu alam lebih luas dari sekedar interaksi langsung dengan panca indera. Oleh karenanya, manusia menggunakan alat-alat bantu seperti mikroskop, teleskop, alat perekam gelombang, dan lain sebagainya. Jika seorang seseorang menyatakan bahwa ia menemukan gejala alam baru yang belum terdaftar dalam perbendaharaan ilmu-ilmu alam maka ia perlu memberikan informasi tentang lingkungan, peralatan serta cara pengamatan yang digunakan, sehingga memungkinkan orang lain mengamati kembali jika ingin mengujinya. Meskipun pengamatan dalam ilmu alam bersifat reproducible atau bisa diulang-ulang, namun dimungkinkan juga hasil yang berbeda menurut cara pengamatan yang dipakai, meskipun secara umum cenderung seragam atau objektif.

d.      Subjek Pengamatan (Peneliti) Lebih sebagai Penonton
Prinsip pengamatan dalam ilmu-ilmu alam adalah prinsip objektif, artinya kebenarannya disimpulkan berdasarkan objek yang diamati. Dalam pandangan Henry Margenau, prinsip objektif ini menempatkan posisi ilmuwan sebagai the cosmic spectator daripada the cosmic spectable. Ilmuwan alam adalah penonton alam, dia hanya mengamati alam, dan memperlihatkan hasil pengamatannya kepada orang lain, dimana ia sedikitpun tidak melibatkan subjektivitasnya, tetapi sekedar menunjukkan hasil tontonanya.
Kerena sisi dominan pengamatan dalam ilmu-ilmu alam adalah lebih sebagai “penonton”, maka tujuan aktivitas pengamatan adalah hanya sekedar menjelaskan objeknya menurut penyebabnya, yang dalam istilah Dilthey disebut dengan istilah Erklaren. Dalam Erklaren ini, pengalaman dan teori bisa dipisah, artinya ada sesuatu jarak atau distansi antara pengamat dan yang diamati.

e.       Memiliki Daya prediktif yang Relatif Lebih Mudah Dikontrol
Ilmu-ilmu alam tidak akan menarik apabila hanya sebatas mengumpulkan informasi tentang gejala-gejala alam semata kemudian membangun teori, melainkan gejala-gejala alam yang sudah diketahui dan dirumuskan dalam teori-teori itu bisa digunakan untuk memprediksikan kejadian-kejadian yag dimungkinkan akan timbul dari gejala-gejala tersebut. Misalnya,  manusia mempelajari lempengan-lempengan dalam bumi, termasuk gerak-gerak dan karakternya serta sebab-sebab terjadinya gerakan itu. Dari situ kemudian bisa diketahiu semacam keajekan bahwa setiap sekian ratus tahun akan terjadi patahan-patahan dari lempengan-lempengan bumi tersebut, dan pengetahuan ini bisa menjaddi ajuan prediksi, misalnya, jika terjadi didasar lautan maka bisa menimbulkan gelombang laut yang sangat besar atau Tsunami.

2.      Cara Kerja Ilmu-ilmu Sosial-Humaniora
Objek kajian ilmu-ilmu social-humaniora tidak sekedar sebatas fisik dan material –layaknya ilmu-ilmu alam- tetapi lebih dibalik yag fisik dan material serta bersifat lebih kompleks. Ilmu-ilmu social-humaniora mafaatnya tidak bisa langsung dirasakan karena harus berproses dalam wacana yang panjang dan memerlukan negosiasi, consensus dan kompromi. Seperti halnya ilmu-ilmu alam, manusia juga membutuhkan ilmu-ilmu social-humaniora untuk memenuhi kebutuhan non fisikan-material, melainkan lebih bersifat abstrak dan psikologis, seperti penemuan prinsip keadilan membawa manusia untuk mengatur perilaku sosialnya atas dasar prinsip tersebut, dan lain sebagainya.
Dilihat dari sifat objeknya, cara kerja ilmu-ilmu social-humaniora bisa dirangkum dalam prinsip-prinsip sebagai berikut :
a.       Gejala Sosial-Humaniora Bersifat Non Fisik, Hidup, dan Dinamis
Gejala-gejala yang diamati dalam ilmu-ilmu social-humaniora bersifat hidup dan bergerak secara dinamis. Objek studi dalam ilmu-ilmu social-humaniora adalah manusia yang lebih spesifik lagi pada aspek sebelah dalam atau inner worldnya dan bukan outer worldnya. Berbeda dengan ilmu kedokteran, ilmu kedokteran membicarakan manusia dari aspek biologis dan fisikal, sedangkan ilmu-ilmu social-humaniora lebih menekan pada sisi bagian “dalam” manusia atau apa yag ada dibalik manusia secara fisik, pada innerside, mental life, mind-affected world, dan geistege Welt.

b.      Objek Penelitian Tidak Bisa Berulang
Gejala-gejala social-humaniora memiliki keunikan-keunikan dan kemungkinan bergerak dan berubahnya sangat besar, karena mereka tidak stagnan dan bersifat dinamis. Kejadian social yang dulu pernah terjadi secara mirip mungkin akan terulang kembali, tetapi secara keseluruhan tidak pernah bisa serupa. Misalnya, perilaku kerusuhan social orang-orang di Surakarta dulu pernah diteliti, dan sekarang ilmuawan mencoba meneliti ulang perilaku kerusuhan social mereka itu, maka data yang diperoleh atau gejala-gejala social-humaniora yang bisa ditangkap berbeda meskipun dari informan yag sama tidak mungkin sama, karena sikap, emosi, dan pengetahuan informan berkembang dan bahkan mungkin berubah sama sekali dan ditambah lagi perubahan-perubahan konteks sosil-budaya-politiknya.
Gejala-gejala social-humaniora bersifat idiographic, cenderung tidak bisa ditelaah secara berulang-ulang. Objek yang ditelaah atau gejala-gejala social-humaniora hanya dilukiskan keunikannya saja. Ilmu-ilmu social-humaniora hanya memahami, memaknai dan menafsirkan gejala-gejala social-humaniora yang kemungkinan akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda, bahkan bertentangan daripada menghasilkan kesimpulan yang sama.

c.       Penganatan Relatif Lebih Sulit dan Kompleks
Gejala-gejala social-humaniora bersifat bergerak, bahkan berubah, oleh karenanya mengamatinya sudah tentu lebih sulit dan lebih kompleks dibandingkan meneliti gejala-gejala ilmu alam. Karena obyek pengamatan dari gejala-gejala social-humaniora adalah apa yang ada dibalik penampakan fisik dari manusia dan bentuk-bentuk hubungan social mereka. Melihat seseorang tersenyum kepada orang lain adalah hal yang sudah biasa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi makna senyum itu dalam ilmu social-humaniora mengandung banyak makna, boleh jadi ia senang pada orang yang dilihatnya, boleh jadi ia tersenyum tidak karena suka, tetapi terpaksa karena ingin kelihatan sebagai orang yang baik dimata orang-orang sekitarnya, dan boleh jadi ia tersenyum karena orang yang dilihatnya lucu dan aneh. Van Dalen menambahkan bahwa ilmuwan alam berkaitan dengan gejala fisik yang bersifat umum, dan pengamatannya hanya meliputi variable dalam jumlah yang relative kecil dan karenanya mudah diukur secara tepat dan pasti; sedangkan ilmu social-humaniora mempelajari manusia baik selaku perorangan maupun selaku anggota dari suatu kelompok social menyebabkan situasinya bertambah rumit, dan karenanya variable dalam penelaahan social-humaniora relative lebih banyak dan kompleks serta kadang-kadang membingungkan[4].
Oleh Karena itu, jelas bahwa pengamatan dalam ilmu-ilmu social-humaniora adalah jauh lebih kompleks, subjek dan objek penelitian adalah makhluk yang sama-sama sadar yang jelas tidak mudah menangkap dan ditangkap semudah menangkap realitas baru misalnya.

d.      Subjek Pengamatan (Peneliti) juga sebagai Bagian Integral dari Objek yang Diamati
Dalam ilmu-ilmu alam, subjek pengamat bisa mengambil jarak dan focus pada objektivitasnya yang diamati, tetapi dalam ilmu-ilmu social-humaniora karena subjeknya yang mengamati dan yang diamati adalah manusia yang memiliki motif dan tujuan dalam setiap tingkah lakunya, maka subjek yang mengamati atau peneliti tidak mungkin bisa mengambil jarak dari objek yang diamati dan menerapkan prinsip subjektivistik. Manusa bisa mengamati benda-benda fisik seperti gerak angin tanpa terlibat secara pribadi, tetapi manusia tidak mungkin mengamati manusia lain tanpa melibatkan minatnya, nilai-nilai hidup, kegemaran, motifnya, dan tujuan pengamatan manusia akan memengaruhi pertimbangan-pertimbangan dalam mengajari gejala social-humaniora.
Pengamatan dalam ilmu-ilmu social-humaniora menggunakan istilah “Verstehen” yang bermakna bahwa pengalaman dan pemahaman teoritis tidak terpisahkan dan justru dipadukan. Pengalaman dan struktur-struktur simbolis yang dihasilkan didalam dunia kehidupan kehidupan social-humaniora tidak tmpak “dari luar”, tetapi harus dilibati “dari dalam” diri social-humaniora.

e.       Memiliki Daya Prediktif yang Relatif Lebih Sulit dan Tak Terkontrol
Dalam ilmu social-humaniora, pola-pola perilaku social-humaniora yang sama, belum tentu mengakibatkan kejadian yang sama. Meski demikian, bukan berarti ilmu-ilmu social-humaniora sama sekali tidak dapat dipakai untuk meramalkan kejadian-kejadian social lain sebagai akibatnya dalam waktu dan tempat yag berkalainan, tetap bisa namun tedak mungkin semudah dan sepasti ilmu-ilmu alam.

3.      Cara Kerja Ilmu-ilmu Keagamaan dan Keislaman
Tidak jauh berbeda dari disiplin ilmu-ilmu yang lain, dalam ajaran agamapun tersembunyi banyak ilmu. Oleh karena itu, ilmu agama juga memiliki cirri ilmiah, dan memiliki kekhasan disbandingkan dengan ilmu-ilmu alam dan social-humaniora, meskipun dalam tingktan tertentu menunjukan suatu kesamaan.
Ciri tersebut tergambar pada cara kerja ilmu-ilmu keagamaan, sebagai berikut :
a.       Gejala Keagamaan sebagai Ekspresi Keimanan dan Pemahaman atas Teks Suci
Tidak jauh berbeda dengan gejala social-humaniora, gejala keagamaan juga merupakan sesuatu yang bergerak dan statis. Gejala ini sekaligus mengindikasi suatu dinamika keimanan sebagai hasil dari pengalaman dan pemahaman atas teks-teks suci keagamaan yang diyakininya. Hal yang tidak ada dalam gejala social-humaniora adalah aspek ekspresi keimanan religious ini.
Objek kajian dalam ilmu social-humaniora manusia beragama, dan lebih focus pada inner worldnya sebatas aspek keimanan teologisnya, seperti paham ketuhanannya da implikasinya pada perilaku social-kemanusiaannya, dan pemahaman keagamaan yang dibangun oleh manusia beragama.

b.      Objek Penelitian Unik dan Tak bisa Diulang
Objek penelitian unik karena menyangkut keyakinan keagamaan, yakni keyakina agama dijadikan sumber pengamatan mengapa muncul perilaku social orang tertentu. Objek penelitian ilmu-ilmu agama adalah menyangkut perilaku orang beragamanya dan juga teks-teks suci keagamaan yang diyakini orang beragama.
Selain itu, objek kajian ilmu keagamaa juga bersifat tak bisa diulang-ulang karena kejadian keagamaan tercermin dalam perilaku keagamaan orang beragama atau masyarakat beragama pada kurun waktu dan tempat tertentu tidak mungkin bisa direkonstruksi orang sesudahnya persis kejadian pada awalnya.

c.       Pengamatan Sulit dan Kompleks dengan Interpretasi Teks-teks Suci Keagamaan
Pengamatan dalam ilmu keagamaan mirip dalam ilmu-ilmu social-humaniora, yakni sulit dan kompleks karena melihat dan memaknai apa yang dibalik kegiatan dan perilaku fisik dan empiris manusia beragama.
Pengamatan ilmu keagamaan juga harus “menyelam” dan menginterpretasi item-item dalam teks-teks suci terkait dengan fenomena kegiatan dan perilaku manusia beragama yang bisa ditangkap. Perilaku-perilaku keagamaan ketika diamati jelas bermuatan multiinterpretasi baik terhadap gejala-gejala yang ditangkap maupun dari segipenafsiran teks-teks sucinya.

d.      Subyek Pengamatan (Peniliti) juga sebagai Bagian Integral dari Objek yang Diamati
Pengamat atau peneliti dalam ilmu-ilmu keagamaan juga tidak bisa dilepaska dan merupakan bagian integral objek yang diamati apalagi yang diamati adalah perilaku sosal-humaniora manusia beragama atau aktivitas-aktivitas keagamaan. Seorang pengamat pasti terlibat secara emosional dan rasional dan menyimpulkan makna mereka.

e.       Memiliki Daya Prediktif yang Relatif Lebih Sulit dan Tak Terkontrol
Seperti halnya dalam ilmu social-humaniora, dalam ilmu-ilmu keagamaan pola-pola perilaku keagamaan yang sama belum tentu menghasilkan kejadian-kejadian yang sama. Selain itu, ilmu-ilmu keagamaan juga harus dipertimbangkan keragamaan pemahaman orang beragama terhadap ajaran agama mereka, dan hal ini menambah daya prediktif ilmu-ilmu agama semakin sulit dipastikan.
Ilmu-ilmu keislaman mempunyai prinsip yang sama dengan ilmu-ilmu keagamaan pada umumnya. Yang membedakan hanya teks-teks suci yang diyakini, yaitu Al-Qur’an dan Hadis Nabi serta sumber penalaran rasional dan pengalaman empiris keislaman.
Prinsip kerja ilmu keislaman mengikuti sebagaimana cara kerja ilmu-ilmu keagaman, yakni mempertimbangkan gejala-gejala keislaman yang tercermin dalam karya-karya keislaman dan perilaku dan aktivitas keagaman islam dari para penganutnya dengan disertai penginterpretasian ayat-ayat Qur’an dan hadis-hadis Nabi, karena karya-karya dan aktivitas tersebut selalu merupakan ekspresi keberagaman Islam.
Selanjutnya perlu membangun studi islam yang Interkonektif, yakni persoalan bagaimana islam memahami dan memegangi realitas kehidupan ini dengan berbagai ragam, apakah itu tentang manusia, alam ataukah tentang Tuhan yang dalam hubungan ketiganya melahirkan berbagai realitas yang semakin beragam, politik, social, budaya, pendidikan, hokum, hak asasi manusia, ekologi, spiritualitas, dan lain sebagainya. Harus ada interkoneksi dan interkoneksi antar disiplin-displin keilmuan Islam.
Interkoneksitas dan Interkomunikasi dalam studi Islam harus terjadi tidak hanya sisi internalnya, yakni ilmu-ilmu keislaman, seperti tafsir, fiqh, tasawuf, ilmu kalam, filsafat islam, dan lain sebagainya, tetapi juga sisi eksternalnya, yakni ilmu-ilmu Islam dengan Ilmu-ilmu social-humaniora dan ilmu alam.
Dalam keilmuan Islam yang interkonektif dan interkomunikatif menolak suatu pandangan dunia hitam-putih dan tidak ada wilayah “abu-abu”, menolak dikhotomi ilmu agama dan ilmu umum, dan menolak perlombaan antar disiplin ilmu untuk memperlihatkan disiplin ilmu apa lebih superior daripada disiplin-disiplin ilmu lain. Penolkan ini menunjukan ada suatu dukungan kelebihan masing-masing disiplin ilmu dan kesemuanya memiliki nilai konstribusi yang spesifik terhadap suatu realitias.
Pengembangan studi Islam juga berpijak pada tiga hadharah, yakni hadharah al-nash, hadharah falsafah dan hadharah al-‘ilm.
Pemakaian interpretative atas nash, al-Qur’an dan Hadis, tidak meninggalkan aspek the wholeness of reality seperti banyak dikembangkan filsafat, dan juga tidak mengabaikan perspektif-perspektif disiplin ilmu lain yang dimungkinkan ada dan dapat dikembangkan. Dengan cara demikian, ilmu-ilmu islam dikembangkan tidak dalam model single entity atau murni teks suci tanpa konteks, tidak dalam model isolated entities atau unit-unit yang tertutup, yakni normativitas teks suci jalan sendiri, falsafah jalan sendiri, dan ilmu jalan sendiri tanpa “jendela” interkoneksi dan interkomunikasi, melainkan dalam model interconnected entities ada saling hubungan antar ketiganya.


BAB III
PENUTUPAN

Ilmu Pengetahuan adalah suatu hasil cipta sadar manusia yang didokumentasikan secara konseptual yang saling berkaitan serta dapat bermanfaat untuk percobaan dan pengamatan lebih lanjut.
Adapun cara kerja ilmu-alam meliputi gejala alam bersifat fisik-statis, objek penelitian dapat berulang, pengamatan relative lebih mudah dan simple, subjek pengamat (peneliti) lebih sebagai penonton dan memiliki daya prediktif yang relative lebih mudah dan dikontrol. Sedangkan cara kerja ilmu-ilmu social-humaiora antara lain, gejala social-humaniora bersifat non fisik, hidup, dan dinamis, objek penelitian tidak bisa berulang, pengamatan relative lebih sulit dan kompleks, subjek pengamat (peneliti) juga sebagai bagian integral dari subjek yang diamati, dan memiliki daya prediktif yang relative lebih sulit dan tak terkontrol. Tidak jauh berbeda dengan cara kerja ilmu-ilmu social-humaniora, ilmu-ilmu keagamaan dan keislaman juga memiliki cara kerja sebagai berikut gejala keagamaan sebagai ekspresi keimanan dan pemahaman atas teks suci, objek penelitian unik dan tidak bisa diulang, pengamatan sulit dan kompleks dengan interpretasi teks-teks keagamaan, subjek pengamat (peneliti) juga sebagai bagian integral dari objek yang diamati, dan memiliki daya prediktif yag relative lebih sulit dan tak terkontrol.



DAFTAR PUSTAKA

Ghazali, Bachri, dkk. Filsafat Ilmu. 2005. Yogyakarta : Pokja Akademik.
Carvallo, Bosco, dkk. Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. 1995.  Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.



[1] Diterjamahkan oleh Bosco Carvallo, dkk. Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1995) hal. 8
[2] Ibid. 39
[3] Usman, dkk, Filsafat Ilmu (Yogyakarta : Pokja Akademik, 2005)
[4] Ghazali Bachri. FILSAFAT ILMU. …..148

Cerpen Gombal


www.Raja Gombal.com
Dalam sebuah dongeng diceritakan bahwa ada seekor buaya yang berpacaran dengan seekor katak. Gaya pacaran mereka selalu dipenuhi dengan rayuan gombal si Buaya.
Buaya    : Cyin,tau gak apa bedanya kamu dengan Neal Amstrong????
Katak     : Apa yah? Engga’ tau igh....emang apa,bi?
Buaya    : hmmmmmm, kalo Neal Amstrong adalah orang yang pertama mendarat di Bulan, sedangkan kamu adalah orang pertama yang mendarat di Hatiku, ea ga’ cyin??????????
Katak     : agh, abi bisa ajah.....
Buaya    : e kamu punya pulsa gak, cyin?
Katak     : punya’, knpa????
Buaya    : miscall hati ku dunk, ckckckckckckckck
Katak     : iiih, cayank ngemesin dech......:P
Buaya    : o iya cyin, kamu tau gak, BUAYA apa yang paling cakep????
Katak     : kalo itu aq tau, pasti jawabn’y “BUAYA-ngin aja aq”.....iya kan?,
Buaya    : ko tau???
Katak     : karna itu pertanyaan yang sering kamu tanyakkan padaku.
Buaya    : @#$%^&*???????????? Heeee.......